Powered by ProofFactor - Social Proof Notifications

Agroforestri: Pengertian, 6 Tipe, Tujuan, dan Manfaatnya

Agroforestri merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hutan yang menggunakan metode konservasi. Ternyata, bentuk dan metode agroforestri bermacam-macam, temukan penjelasan lengkapnya di artikel ini
Pengertian agroforestri, metode, tujuan dan manfaat agroforestri.

Pengertian Agroforestri 

Agroforestri adalah perpaduan pengelolaan lahan sebagai solusi konversi lahan dengan menggunakan sistem budidaya tanaman kehutanan, pertanian atau peternakan secara bersamaan. Agroforestri menjadi solusi konversi lahan yang berdampak buruk.

Konversi lahan tersebut sering kali mengakibatkan masalah lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi, kelangkaan sumber daya alam, penurunan kesuburan tanah, kepunahan keanekaragaman hayati hingga perubahan iklim.

Istilah agroforestri berasal dari kata serapan bahasa inggris yakni agro berarti pertanian dan forestry berarti kehutanan. Sistem agroforestri di Indonesia juga dikenal dengan istilah wanatani. Wanatani gabungan dari dua kata yakni “wana” dan “tani” yang berarti hutan tani. 

Sistem agroforestri sudah banyak diterapkan di berbagai wilayah Indonesia dengan istilah lokal yang melekat padanya.

Di Jawa sendiri sistem ini lebih dikenal dengan istilah mratani, yakni bercocok tanam sambil berkebun dan beternak. Sistem tersbut dapat berisi tanaman holtikultura atau tegakan hutan di pekarangan atau lahan kosong yang ada di rumah.

Di Maluku agroforestri dikenal dengan istilah Dusung dan di Lampung bernama Repong.

Sementara itu, di Sumatera Utara, agroforestri disebut Reba Juma, yakni ladang masyarakat yang mudah dijangkau. Reba juma didominasi oleh tanaman hutan seperti duku, durian, rambutan, manggis dan babu, serta tanaman pertanian dan perkebunan seperti coklat, pisang, nanas, kunyit, jagung dan masih banyak lagi.

Masih banyak lagi istilah lokal lainnya untuk menyebutkan sistem agroforestri ini.  

6 Tipe Sistem Agroforestri di Indonesia

Terdapat beberapa tipe sistem agroforestri yang diterapkan masyarakat Indonesia untuk memaksimalkan lahan dan mengoptimalkan hasil.

Sistem tradisionalnya turut dipengaruhi oleh sistem kultural yang ada di daerah tersebut. Selain diterapkan pada lahan pertanian di lahan pribadi, sistem agroforestri yang berkembang juga kerap dipadukan dalam program-program pengembangan hutan.

Berikut beberapa sistem agroforestri di Indonesia diantaranya yaitu:

1. Sistem Pekarangan 

Sistem pekarangan mengadopsi agroforestri dengan menanam tanaman campuran seperti tanaman tahunan, tanaman umur panjang, dan ternak di lahan pekarangan pribadi.

Metode ini banyak dijumpai di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur pada pertengahan abad kedelapan belas. 

Pada umumnya sistem pekarangan memiliki minimal 2 lapisan tanaman. Lapisan paling rendah ditumbuhi dengan tanaman setinggi sampai 2 meter, seperti umbi-umbian, sayur-sayur, dan bambu-bambuan.

Lapisan tanaman yang lebih tinggi ditanami oleh buah-buahan seperti cengkeh, sengon, kelapa, dan pepohonan lain.

2. Sistem Kebun-Talun 

Dalam tipe agroforestri ini tahapan penanaman terdiri atas tiga proses yang dilakukan berdasarkan jarak waktu.

Tiga tahapan tersebut diawali dengan penanaman tanaman perkebunan, dilanjutkan dengan tanaman campuran ketika tanaman kebun sudah mulai tumbuh, dan diakhiri dengan menanam tanaman dengan metode talun.

  1. Penanaman tanaman kebun atau tanaman tahunan seperti jagung, tembakau, ubi kayu, dan sayur-mayur. Tanaman ini nantinya akan dikonsumsi untuk keluarga petani dan hanya sedikit dari hasil panen yang dapat dijual. Setelah tanaman kebun ini menunjukan pertumbuhan yang baik, maka dua tahun kemudian petani akan mulai menanam tanaman campuran. 
  2. Penanaman tanaman campuran. Tahap ini dimaksudkan agar dalam satu area tanaman tahunan dapat bersama-sama tumbuh dengan tanaman jangka panjang. Tanaman jangka panjang tersebut dapat membantu penambahan nilai biofisik tanah atau meningkatkan konservasi tanah dan air sehingga terhindar dari erosi. 
  3. Pembentukan talun atau daerah budidaya yang terdiri atas berbagai macam komoditas mulai dari tanaman perkebunan, hortikultura, dan tanaman kehutanan. Setelah tanaman tahunan mendominasi dan dapat dipanen setiap tahun, kebun akan didominasi oleh tanaman jangka panjang. Pada momentum ini daerah tersebut telah masuk kepada tahapan ketiga yakni talun. Lahan ini dominasi oleh campuran pohon-pohon umur panjang, tanaman tahunan, dan hortikultura yang tumbuh dalam satu area lahan agroforestri.

3. Sistem Lorong

Tipe agroforestri ini telah dikembangkan sejak tahun 1980-an terkhusus untuk wilayah Nusa Tenggara.

Sistem lorong memanfaatkan garis-garis kontur untuk ditanami leguminosa atau tanaman sumber protein yang baik untuk pakan ternak.

Tanaman tersebut dapat berupa lamtoro gung yang ditanam pada bagian larikan. Di antara larik-larikan kemudian akan ditanami tanaman semusim, tanaman umur panjang, dan rerumputan

4. Sistem Bera yang Disempurnakan 

Bera yang disempurnakan dapat dijadikan alternatif pada sistem pertanian yang berpindah ladang. Sistem pertanian yang memiliki kebiasaan berpindah ladang menimbulkan efek buruk berupa kerusakan pada suatu ekosistem.

Maka dari itu, sistem bera dapat dijadikan solusi atas sistem pertanian lahan berpindah. 

Sistem bera adalah suatu sistem pengembalian kesuburan tanah dengan cara menanami tanaman yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem bera yang disempurnakan ini adalah Pueraria javanica.

Setelah ditanami dan tanah kembali pulih, 3-4 bulan kemudian tanaman pangan sudah mulai dapat dibudidayakan. Tanaman pangan yang bisa digunakan seperti ubi kayu, padi, kacang tanah dan jahe. Selain itu, melinjo dapat menjadi pilihan tanaman jangka panjang

5. Sistem Kebun Wanatani Berstrata 

Tipe agroforestri ini banyak dijumpai di Sumatera Utara. Ciri utama sistem ini adalah adanya perpaduan antara tanaman hutan dan tanaman pertanian sehingga membentuk lahan hutan dengan strata yang berlapis-lapis.

Tanaman pertanian dapat berupa tanaman dengan nilai jual tinggi di pasaran agar memberikan pemasukan untuk rumah tangga, seperti cabai, terong, jagung, kacang-kacangan, mentimun.

Di sisi lain, tanaman kayu dapat berupa tanaman durian, kayu manis, pala, kopi, dan bayur. 

6. Tumpangsari 

Tipe agroforestri ini banyak diterapkan di tanah Jawa. Sistem tumpangsari memanfaatkan lahan hutan sementara waktu dengan menanami tanaman pertanian diantara tanaman kayu keras.

Keunggulan dari tumpangsari adalah dapat mengoptimalkan lahan yang ada dengan semaksimal mungkin.

Sistem ini dapat diterapkan oleh mereka yang tidak memiliki lahan luas namun ingin mendapatkan hasil lahan yang banyak. 

Tujuan Agroforestri

  1. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya lahan dan hutan. Hal tersebut dimaksudkan karena agroforestri sangat jelas dapat mengoptimalkan fungsi lahan yang ada dengan ditanami berbagai jenis tanaman mulai dari tanaman kayu dan non-kayu serta peternakan sebagai support keberlangsungan ekosistem. 
  2. Meningkatkan kualitas sumber daya alam terutama tanah dan air. Banyaknya jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu area lahan pertanian atau hutan dapat membantu dalam konversi tanah dan air. Jenis tanaman yang digunakan dapat mendorong kesuburan tanah serta mengikat tanah agar tidak mudah erosi dan menjaga kelangsungan air tanah melalui akar kuatnya. 
  3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan hasil tanaman yang berlimpah. 

Manfaat Agroforestri 

Setelah menelusuri tipe-tipe agroforestri yang ada di Indonesia, tujuan agroforestri, maka kini kita dapat melihat manfaat yang luar biasa dari sistem agroforestri. Secara umum manfaat dari sistem agroforestri sebagai berikut: 

  1. Pelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan. Pada lahan pertanian ataupun hutan yang ditanami dengan menggunakan sistem agroforestri tentu memiliki keunggulan dengan beragamnya jenis tanaman. Kekayaan jenis tanaman tersebut mendorong kehidupan sumber daya genetik sehingga tetap menjaga keutuhan hutan.
  2. Menjadi habitat untuk satwa liar. Apabila lahan dengan sistem agroforestri sudah tertata rapi dan membentuk vegetasi yang baik, tentu akan menjadi rumah yang nyaman juga untuk para satwa. 
  3. Menjadi solusi untuk konservasi lahan dan air. Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya, sistem agroforestri dapat menjaga keseimbangan tanah dan air. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N akan berpengaruh pada biomassa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro, P, N, Zn, Cu dan S untuk tumbuhan inang. Keadaan tersebut menandakan unsur hara pada lahan agroforestri terjadi secara efisien. 
  4. Menjaga biodiversitas atau keanekaragaman hayati dengan memunculkan dan melestarikan vegetasi yang sudah ada sebelumnya. 
  5. Mengurangi tekanan terhadap tanah sehingga fungsi kawasan hutan tidak terganggu,
  6. Efisiensi dalam recycling unsur hara melalui pohon,
  7. Memberikan perlindungan terhadap ekologi daerah hulu atau daerah aliran sungai (DAS),
  8. Mengurangi aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah, serta
  9. Memperbaiki iklim mikro, mengurangi kenaikan suhu bumi, dan mengurangi evapotranspirasi. 

Kesimpulan 

Agroforestri menjadi salah satu solusi alternatif sistem pengelolaan lahan yang sudah banyak diaplikasikan di penjuru tanah air. Setiap daerah memiliki istilah yang berbeda untuk menyebutkan sistem agroforestri tersebut.

Terdapat pula banyak tipe agroforestri dengan cara penerapan yang berbeda-beda dan menyesuaikan kebutuhan, tujuan penanaman, serta luasan lahan.

Secara umum sistem agroforestri memiliki fungsi dan manfaat yang baik karena mampu memperbaiki konversi lahan dan air serta menjaga keanekaragaman hayati.

Penulis: Jati Ratna Arifah