Curah hujan di Indonesia memiliki hujan tahunan yang tinggi hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah tropik. Tingkat hujan semakin tinggi di daerah pegunungan. Tingkat hujan rata-rata tahunan di wilayah tropik terjadi karena adanya proses konveksi dan pembentukan awan panas yang pada dasarnya dihasilkan dari gerakan massa udara lembab ke atas.
Meskipun adanya perbedaan regional yang signifikan di Indonesia, tetapi di sebagian besar wilayah (termasuk Jawa dan Bali) musim penghujan terjadi pada bulan November hingga Maret.
Tidak dipungkiri semakin banyaknya persoalan lingkungan seperti pemanasan global menyebabkan adanya perubahan pada keadaan musim penghujan yang berhubungan erat dengan hujan. Jadi sebenarnya apakah itu curah hujan?
Pengertian Curah Hujan
Curah hujan adalah ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat yang datar dengan asumsi tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Tingkat hujan yang diukur dalam satuan 1 (satu) mm adalah air hujan setinggi 1 (satu) mm yang jatuh (tertampung) pada tempat yang datar seluas 1 meter persegi dengan asumsi tidak ada yang menguap, mengalir dan meresap.
Data curah hujan penting untuk perencanaan teknik, terutama untuk sistem drainase seperti irigasi, bendungan, drainase perkotaan, pelabuhan, dermaga, dan struktur air lainnya.
Akibatnya, data rata-rata hujan di daerah tertentu terus dicatat untuk menilai jumlah perencanaan yang harus dilakukan. Pencatatan data tingkat hujan rata-rata tahunan di DAS (Daerah Aliran Sungai) dilakukan di berbagai titik di sepanjang stasiun pencatatan curah hujan untuk menentukan tingkat hujan yang turun di wilayah tertentu.
Untuk memperoleh perkiraan perencanaan yang tepat, kita membutuhkan data curah hujan selama bertahun-tahun. Semakin banyak data rata-rata hujan tahunan yang ada semakin akurat perhitungannya.
Baca juga: Gambut Adalah: Pengertian, Jenis, Ciri-ciri dan Manfaat Lahan Gambut
Jenis-jenis Curah Hujan
Menurut Tjasyono, Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Tiga wilayah iklim Indonesia yaitu wilayah A (monsun), wilayah B (ekuatorial) garis dan titik, wilayah C (lokal).
1. Curah Hujan Pola Monsunal (Wilayah A)
Curah hujan pola monsun dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering. Sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Sisa enam bulan lainnya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau).
Daerah dengan pola monsun (wilayah A) ini didominasi oleh Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.
2. Curah Hujan Pola Ekuatorial (Wilayah B)
Curah hujan pola ekuatorial dicirikan oleh tipe tingkat rata-rata hujan tahunan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.
Daerah dengan pola ekuatorial (wilayah B) ini meliputi pulau Sumatra bagian tengah dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara.
3. Curah Hujan Pola Lokal (Wilayah C)
Curah hujan pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlainan dengan tipe hujan monsun.
Daerah dengan pola lokal (wilayah C) hanya meliputi daerah Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.
Macam-macam Hujan Berdasarkan Ukuran Butirannya
Berdasarkan ukuran butirannya, klasifikasi hujan dibedakan menjadi empat yaitu:
1. Hujan Gerimis (Drizzle)
Hujan gerimis merupakan butiran air dan halus yang turun dari langit disebut dengan gerimis dengan jumlah sedikit. Bahkan, hujan gerimis disebut ringan yang umumnya memiliki diameter kurang dari 0,5 mm.
Gerimis disebabkan oleh awan stratus kecil dan awan stratocumulus yang memiliki ketinggian 2.000 hingga 7.000 kaki di atas permukaan laut.
2. Hujan Salju (Snow)
Salju adalah kristal-kristal kecil air yang menjadi es dan memiliki temperatur di bawah titik beku. Hujan salju berbentuk padat dan berasal dari awan nimbostratus.
Nimbostratus merupakan awan dengan ketinggian sedang yang berada pada daerah dingin (wilayah di atas garis ekuator).
3. Hujan Batu Es
Hujan batu es merupakan bongkahan-bongkahan es yang turun dari awan yang memiliki temperatur dibawah 0° derajat celcius yang terjadi pada cuaca panas.
Jenis hujan ini termasuk hujan lokal yang jarang terjadi dan biasanya terjadi kurang lebih 10 menit. Penyebabnya adalah adanya pengembunan mendadak.
Seluruh wilayah di dunia dapat mengalami hujan batu es, termasuk wilayah tropis. Ukuran hujan es sekitar 6 cm per bongkahan. Hujan es berasal dari awan cumulonimbus yang bertumpuk secara vertikal hingga mencapai ketinggian 30.000 kaki atau lebih.
4. Hujan Deras (Rain)
Hujan deras merupakan curahan air yang memiliki butiran kurang lebih 7 milimeter dan berasal dari awan yang memiliki temperatur di atas 0°.
Baca juga: Pengertian Ekploitasi, Jenis, Contoh dan Dampak Ekploitasi Hutan
Pembagian Hujan Berdasarkan Proses Terjadinya
Hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, antara lain yaitu:
1. Hujan Siklonal
Hujan siklonal adalah hujan yang terjadi akibat naiknya udara panas dari permukaan bumi disertai adanya angin yang berputar-putar pada titik tertentu.
2. Hujan Zenithal
Hujan zenithal adalah hujan yang diakibatkan pertemuan angin pasat tenggara dan angin pasat timur. Hujan jenis ini juga umumnya hanya terjadi di sekitar khatulistiwa.
3. Hujan Orografis
Hujan orografis adalah hujan yang terjadi akibat pergerakan awan ke arah horizontal yang dibawa angin. Angin membawa awan mencapai suatu daerah pegunungan dan mengalami kondensasi karena suhu dingin yang ada di sekitarnya.
4. Hujan Frontal
Hujan frontal adalah hujan yang terjadi akibat pertemuan massa udara dingin dengan massa udara panas. Pertemuan kedua udara tersebut terjadi pada sebuah tempat yang bernama “bidang front”. Pertemuan ini mengakibatkan massa udara dingin berada di bawah dan menstimulasi terjadinya hujan di sekitar bidang front.
5. Hujan Muson
Hujan muson adalah hujan yang diakibatkan pengaruh angin muson. Angin muson sendiri terjadi akibat pengaruh gerak semu tahunan matahari terhadap katulistiwa bumi.
6. Hujan Buatan
Hujan buatan adalah hujan yang terjadi akibat campur tangan manusia dalam memanipulasi keadaan fisik atmosfer lokal, tepatnya dengan memanfaatkan proses tumbukan dan penggabungan dalam pembentukan awan (ice nucleation).
Alat Ukur Curah Hujan
Data curah hujan sangat penting dalam mengatur pengelolaan air dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sebab rata-rata hujan tahunan antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda dan dapat terjadi setiap saat.
Oleh karena itu diperlukan alat yang dapat memantau curah hujan secara otomatis, real-time, dan mampu menyimpan data curah hujan di masing-masing daerah.
Penakar hujan atau ombrometer merupakan alat untuk mengukur tingkar rata-rata hujan tahunan. Ada 2 jenis penakar hujan yaitu penakar hujan rekam (recording) dan penakar hujan non rekam (non recording).
1. Ombrometer Manual
Pengukuran curah hujan secara manual ini dilakukan dengan mengukur volume air secara berkala dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh hasil curah hujan suatu wilayah.
Ombrometer manual dibagi menjadi dua jenis yaitu:
A. Ombrometer Biasa
Ombrometer ini terbuat dari bahan sederhana yaitu seng dengan tinggi 60 cm dan pipa paralon dengan tinggi 100 cm. Cara kerja alat penakar ini masih sangat sederhana.
Air yang ditampung oleh penakar selanjutnya dibagi berdasarkan parameter luas mulut dan volume air hujan. Dalam penggunaannya, alat sederhana ini diletakkan di ketinggian 120 hingga 150 cm. Namun, kelemahan alat ini masih belum mampu mencatat secara otomatis.
B. Ombrometer Observatorium
Pengukuran curah hujan dengan ombrometer observatorium dilakukan dengan menggunakan gelas ukur dan menjadi standar yang biasa digunakan di Indonesia.
Penggunaan alat ini cukup mudah dan pemeliharaanya murah. Namun kelemahan dari ombrometer observatorium yaitu data yang terbatas karena hanya dapat digunakan untuk mengukur curah hujan selama 24 jam.
Selain itu, derajat kesalahan pengukuran satu alat dengan alat lainnya juga kerap terjadi dan menunjukkan hasil yang berbeda.
2. Ombrometer Otomatis
Ombrometer otomatis memiliki cara kerja yang sudah beroperasi dengan mekanisme otomatis dalam pencatatannya. Kelebihan ombrometer ini hasil perhitungan yang diperoleh lebih akurat dibandingkan ombrometer manual.
Selain itu, alat ini juga sanggup mengukur kondisi curah hujan tinggi maupun rendah dan melakukan pencatatan dalam waktu tertentu.
Contoh ombrometer otomatis, antara lain:
- Penakar Hujan Tipe Hellman
- Penakar Hujan Tipping Bucket
- Penakar Hujan Tipe Bendix
- Penakar Hujan Tipe Weighing Bucket
- Penakar Hujan Tipe Optical
- Penakar Hujan Tipe Tilting Siphon
- Penakar Hujan Tipe Floating Bucket
3. Automatic Weather Station
Selain ombrometer, terdapat alat pengukur cuaca otomatis yang jauh lebih efisien dan memiliki banyak kelebihan. Alat ini mampu mengukur suhu, curah hujan, kelembaban, lama penyinaran matahari, kecepatan dan arah angin, serta pengukuran lainnya.
Automatic Weather Station terdiri dari sensor-sensor yang bekerja dalam sebuah sistem. Penggunaan alat ini biasanya diperuntukkan ketika cuaca ekstrim seperti kemarau panjang dan badai.
Pencatatan otomatis secara real time dan akurat merupakan keunggulan dari Automatic Weather Station. Selain itu, pada beberapa tipe Automatic Weather Station telah dilengkapi alam pengukur ketinggian awan (Ceilometer).
Metode Perhitungan Curah Hujan
Perhitungan curah hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya yaitu:
1. Metode Aritmatik
Metode aritmatik ini dilakukan dengan menentukan curah hujan rata-rata pada daerah aliran sungai dengan membagi beberapa wilayah pada DAS atau disebut stasiun. Kemudian, pada masing-masing stasiun dilakukan penghitungan curah hujan.
Selanjutnya, jumlah curah hujan pada setiap stasiun akan ditotal dan dibagi dengan jumlah wilayah perhitungan curah hujan yang dilakukan. Sehingga diperoleh hasil rata-rata curah hujan pada wilayah DAS yang sudah ditentukan.
Cara pengukuran curah hujan dengan metode aritmatik ini memiliki kelebihan yaitu mudah dilakukan karena masih sederhana.
Tapi metode ini memiliki juga kekurangan yaitu kurang akurat karena bergantung pada distribusi hujan terhadap ruang dan ukuran daerah aliran sungai (besar atau kecil).
Selain itu, metode aritmatik memiliki syarat kondisi agar bisa mendapatkan hasil perhitungan, seperti banyaknya jumlah tempat yang dibutuhkan dengan konsistensi dan konsentrasi curah hujan yang merata.
2. Metode Poligon Thiessen
Metode poligon thiessen ini dilakukan dengan memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Cara ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Metode ini stasiun hujan minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun
Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru.
3. Metode Isohyet
Metode isohyet jauh lebih kompleks dibandingkan 2 metode lainnya. Teknik ini harus dilakukan dengan menggunakan komputer agar data yang diperoleh akurat dan hasil analisa dapat terjaga konsistensinya.
Perhitungan metode ini dilakukan dengan menentukan dan membagi daerah-daerah sepanjang DAS yang memiliki intensitas hujan yang sama.
Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata. Teknik ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibanding dua metode lainnya.
Baca juga: 10 NGO dan Yayasan Bidang Lingkungan Paling Terkenal di Indonesia
FAQ
Apa itu Curah Hujan?
Curah hujan adalah tingkat ketinggian air hujan yang jatuh pada daerah yang datar dengan asumsi air hujan tersebut tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir.
Apa Nama Alat Ukur Curah Hujan?
Alat ukur curah hujan bernama ombrometer. Kita telah membahas terkait ombrometer pada artikel ini.
Penulis: Ridha Rizkiana
Editor: M. Nana Siktiyana
Tuliskan Sebuah Ulasan