Connect with us

Hutanpedia

Peran Perempuan di Gambut Papua

Published

on

Gambar-pembuatan-tepung-sagu

Bagi masyarakat adat di Distrik Wamesa, Teluk Bintuni, Papua Barat, tanaman sagu tidak hanya menjadi sumber pangan saja, tetapi juga sebagai penjaga bagi ekosistem gambut tempat mereka hidup. Sagu yang membutuhkan kelembapan tanah yang tinggi, membuat tanaman ini cocok dengan karakteristik tanah gambut yang berair. Adanya sagu dapat menjaga tingkat kebasahan tanah gambut tanpa perlu adanya proses pengeringan seperti tanaman perkebunan monokultur.

Di Teluk Bintuni, setidaknya ada lima ribu hektare lahan gambut yang menjadi kawasan penghasil sagu. Masyarakat banyak memanfaatkan sagu sebagai sumber karbohidrat dan protein. Untuk mendapatkan sumber protein, mereka akan membuat celah di antara batang kayu yang telah dipotong dan dibiarkan beberapa minggu. Celah yang dibuat ini kemudian digunakan oleh ulat sagu sebagai tempat tinggalnya.

Selain sebagai sumber pangan primer, para wanita adat Wamesa juga memanfaatkan potensi ini dengan mengolah sagu untuk dijadikan komoditas turunan seperti tepung sagu.

Sayangnya, produk tepung sagu hanya berupa barang setengah jadi. Dengan kata lain, keuntungan yang mereka dapatkan pun tidak signifikan. Melihat hal ini, Sita Ratnawati, S.Si, M.Sc, dosen Universitas Papua (UNIPA) berinisiatif mendorong kelompok perempuan adat di Wamesa untuk meningkatkan nilai jual dari komoditas mereka. Kelompok ini didorong untuk berinovasi mengolah bahan baku tepung sagu menjadi makanan yang siap konsumsi, di mana salah satunya adalah biskuit.

Gambar-cookies-dari-sagu
Cookies dari tepung sagu

Pembuatan biskuit sagu ini pun bukan tanpa alasan. Biskuit sagu ini menjadi olahan alternatif pangan yang lebih mudah diterima oleh semua kelompok usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Masalah stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak pun menjadi satu permasalahan yang dapat dikurangi dengan pemberian asupan gizi yang baik melalui olahan sagu.

Gambar-cookies-sagu

Baca juga: 10+ Jenis Pohon yang Hidup di Lahan Gambut

Untuk menjaga cadangan bahan baku, para wanita adat Wamesa menanam sagu di lokasi yang berada di dekat kampung mereka. Selain itu, penanaman sagu ini juga untuk memastikan tutupan lahan gambut. Saat tanaman sagu sudah siap panen pada usia tanam 6–7 tahun, mereka menebang pohon sagu dan melakukan proses tokok atau membelah batang sagu.

Peran-perempuan-di-Gambut-Papua
Proses pemerasan serat hasil cacahan batang sagu

Serat yang sudah dicacah kemudian disiram air dan diperas seperti proses pembuatan santan dari kelapa. Perasan air kemudian didiamkan hingga mengendap di dasar wadah. Hasil endapan ini lah yang kemudian menjadi tepung dan dapat dimasak menjadi berbagai olahan makanan. 

Olahan komoditas sagu yang dilakukan kelompok perempuan adat di Wamesa ini dapat menjadi inspirasi bagi kelompok di daerah lain untuk memaksimalkan potensi lahan gambut tempat mereka tinggal. Pemanfaatan lahan gambut yang bertanggungjawab pada akhirnya dapat mendorong keberlangsungan ekosistem gambut yang lestari. Masyarakat gambut pun memiliki pilihan dalam menentukan penghidupannya tanpa tergantung dengan industri ekstraktif yang kerap melakukan praktik pemanfaatan gambut yang merugikan.

Tentang Pantau Gambut

Pantau Gambut adalah organisasi non pemerintah yang berjejaring di sembilan provinsi, yang berfokus pada riset, advokasi dan kampanye untuk perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia. Tulisan ini merupakan bagian dari konten kolaborasi yang dikerjakan oleh Pantau Gambut dan LindungiHutan. 

Penulis: Devina Fleta & Yoga Aprillianno – Pantau Gambut

Sumber informasi: Sulfianto – Panah Papua

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Ilmu Komunikasi

    01/11/2023 at 14:18

    Mengapa tanaman sagu cocok dengan karakteristik tanah gambut yang berair? Telkom University

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Survey LindungiHutan