Penggerak
Perubahan Iklim Menuntut Keadilan Iklim, Edi dari Pulau Pari Menyampaikan Tuntutannya di Eropa
Perubahan iklim acap kali dipandang sebagai sesuatu yang bersifat besar, rasa-rasanya seperti persoalan yang jauh dan hanya menjadi pembahasan bagi segelintir orang. Mungkin tak sedikit dari kita yang belum mengamini bahwa perubahan iklim adalah ancaman serius. Paling tidak belum, sampai ketika ancaman tersebut datang di depan pintu rumah kita.
Sialnya, ketika ancaman perubahan iklim benar-benar sudah menghantam dan mengancam hajat hidup kita, kita hanya bisa dipaksa untuk beradaptasi. Padahal, siapa yang berbuat salah? Tapi siapa yang terkena imbasnya? Siapa yang menebang hutan dan mengotori seisi bumi dengan emisi? Namun siapa yang pula yang merasakan dampaknya? Apakah ini adil? Tidak, untuk itu kita perlu yang namanya keadilan iklim!
Daftar Isi
Siapa Sebenarnya Sosok Edi?
Mari kita ke Pulau Pari yang ada di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Ada Edi Mulyono yang bersama-sama warga Pulau Pari aktif mengampanyekan isu keadilan iklim. Edi sampai saat ini masih aktif menanam mangrove, paling tidak seminggu sekali dirinya bersama masyarakat setempat menanam secara sukarela demi lestarinya lingkungan Pulau Pari.
Edi sehari-hari bekerja sebagai nelayan tangkap di sekitaran Pulau Pari. Dirinya mengaku bahwa makin ke sini semakin sulit untuk mencari ikan. Menurutnya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, salah satunya dampak dari perubahan iklim. Sulit bagi nelayan kini untuk memperkirakan cuaca.
“Semenjak tahun 2000-an agak sulit, bahkan nelayan kawakan saja yang sepuh banyak yang bilang kalau cuaca sekarang susah diprediksi, mungkin faktor itu ya (perubahan iklim) yang memengaruhi menurunnya pencarian ikan, selain karena kontaminasi laut akibat sungai-sungai dari Kota Jakarta,” Ungkap Edi.
Baca juga: Kisah Edi dan Teh Aas Menjaga Pulau Pari di Tengah Ancaman Abrasi
Edi Bersama Rekan-rekannya Suarakan Keadilan Iklim di Eropa!
Bulan Juni 2023, Edi bersama rekan-rekannya bertolak ke Eropa karena mendapat undangan dari European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) guna menyampaikan kampanye gugatan iklim di forum Re:Publica 2023 di Kota Berlin, Jerman.
Mengutip dari laman WALHI, Re:publica 2023 merupakan forum yang sangat strategis karena dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari ilmuwan, jurnalis, akademisi, pengambil kebijakan, yang berasal dari berbagai negara di Eropa dan dunia.
Edi hadir untuk meminta dukungan kepada masyarakat dunia terkait perjuangan masyarakat Pulau Pari yang tengah memperjuangkan keadilan iklim. Baginya perubahan iklim tidak hanya mengancam Pulau Pari, tetapi juga masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya.
“Pulau kami dan kawasan pesisir kami sudah terancam tenggelam dan ini fenomena yang tidak hanya terjadi di Pulau Pari, tetapi di Indonesia dan juga dunia,” Jelas Edi.
Selain ke Berlin, Edi juga sempat ke kota Bonn Jerman, dan beberapa kota di Swiss. Kota –kota tersebut menjadi destinasi perjuangan serta kampanye Edi bersama rekan-rekannya dalam menuntut komitmen nyata serta pertanggungjawaban para polluters emisi.
Bagaimana Cara Edi dan Warga Pulau Pari Menyuarakan Keadlian Iklim
Edi menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana perubahan iklim berdampak buruk terhadap berbagai lini sektor kehidupannya. Menurutnya bukan hanya di pesisir dampak perubahan iklim ini dirasakan.
“Perubahan iklim ini kan bukan hanya dirasakan oleh masyarakat pesisir sebenarnya, tetapi juga berdampak terhadap kehidupan petani, nelayan, bahkan orang-orang yang tinggal di kota besar sekalipun,” Ujar Edi.
Di kawasan pesisir, khususnya Pulau Pari, Edi merasakan sendiri bagaimana perubahan iklim membuat permukaan air laut semakin naik. Menurut Edi, dahulu Pulau Pari sangat jarang terendam banjir rob, tetapi kini bahkan setiap tahunnya hampir selalu kebanjiran.
“Dari dulu waktu saya kecil itu enggak pernah, nah ini kan menakutkan ketika pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir jadi mulai tenggelam akibat dampak dari perubahan iklim,” Terang Edi.
Tercatat, banjir rob terjadi di Pulau Pari sejak tahun 2000-an. Akan tetapi, kondisinya tidak terlalu parah dibandingkan mulai tahun 2018 hingga sekarang.
“Sebenarnya banjir rob dari tahun 2000-an sudah mulai, tetapi tidak separah di tahun 2018 sampai saat ini. Kalau dulu ya biasa tetapi sedikit, cuma 2018 itu sampai masuk ke dalam pemukiman masyarakat dan rumah warga. Sumur-sumur yang digunakan warga untuk sumber air bersih tidak bisa lagi digunakan untuk minum dan kebutuhan hari lainnya karena mulai tercampur dengan air laut,” Pungkas Edi.
Apa yang dialami oleh Edi dan masyarakat Pulau Pari adalah sebuah fakta. Bahkan fakta tersebut bisa dijumpai di berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Di pesisir Pantura, ada Desa Bedono Demak dan Pesisir Tambakrejo, Kota Semarang yang daratannya hilang tergenang air laut.
Baca juga: Thomas Hari Wahyono, Pakar Mangrove dari Kampung Laut Cilacap Mendapat Penghargaan Nasional
Tentu, kita tidak boleh lagi mendengar kabar tenggelamnya kawasan pesisir. Kita mesti memupuk kesadaran bersama. Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan swasta diperlukan untuk mewujudkan satu komitmen baik demi mengatasi persoalan iklim bersama.
LindungiHutan hadir sebagai jembatan bagi mereka yang ingin mewujudkan komitmen baiknya dalam menekan emisi karbon serta bertanggung jawab dalam menghijaukan kembali ekosistem penyerap karbon.
Kami menanam 700.000+ pohon di 40+ lokasi penanaman yang tersebar di Indonesia. Sampai saat ini, 400+ perusahaan maupun brand berkolaborasi dengan LindungiHutan mewujudkan komitmen dan aksi nyatanya demi masa depan yang lebih hijau. Kamu juga menggandeng mitra petani di masing-masing lokasi guna memastikan program penghijauan kami berjalan dengan baik, berdampak, dan berkelanjutan!
LindungiHutan Menanam 700 Ribu Lebih Pohon di 40+ Lokasi Penanaman di Indonesia