Connect with us

Penggerak

Sehari Bersama Mak Jah, Menanam Mangrove dan Rasanya Tinggal Sendiri di Tengah Lautan

Published

on

Cerita Mak Jah Desa Bedono Demak

Pagi itu terik matahari belum terlalu panas untuk saya dan teman saya memulai perjalanan menuju Desa Bedono, Sayung, Demak. Butuh kurang lebih 45 menit kami berdua menempuh perjalan menggunakan sepeda motor dari Kota Semarang.

Truk kontainer merayap pelan di sepanjang jalur Pantura. Pabrik dan gudang berderetan mengapit jalan raya. Membuat semua orang yang melintasi kawasan ini sadar bahwa ia tengah berada di kawasan industri.

Sebelumnya saya sudah membuat janji dengan Ikhwan, putra pertama Mak Jah atau Paijah, sosok yang memilih untuk tetap tinggal bersama keluarganya, sendirian di tengah laut menanam mangrove. Rencananya, saya beserta teman ingin menginap dan mengikuti keseharian Mak Jah bersama keluarganya. Mungkin, orang sudah banyak tahu tentang Bedono yang tenggelam dan sepak terjang keluarga Mak Jah dalam aksi-aksi pelestarian lingkungan. 

Namun, bagaimana Mak Jah dan keluarganya menjalani aktivitas sehari-hari adalah hal yang lain bukan? Oleh sebab itu, saya memutuskan menginap dan mengikuti kesehariannya, untuk kemudian bercerita!

Sekitar pukul 08.30 pagi, saya sampai di SD Negeri Bedono 1, bangunan bekas sekolah ini menjadi titik untuk bertemu dengan Ikhwan.

SD Negeri Bedono yang kini ditinggalkan

“Halo Mas, Ikhwan, motornya parkir di sini saja ya,” Ujarnya ketika pertama kali bertemu sembari mengarahkan motor kami ke tempat parkiran.

Dari parkiran kami berjalan beberapa meter menuju dermaga kecil, tempat Ikhwan menambatkan kapalnya. Untuk menuju rumah Mak Jah, kami harus menggunakan kapal menyeberangi lautan barangkali sekitar 5-10 menit.

Baca juga: Desa Bedono Demak dan Upayanya Menolak Tenggelam

Ikhwan mengemudikan kapal

Selama perjalanan menuju rumah Mak Jah, saya melihat tiang-tiang listrik yang berbaris rapi menautkan bekas kabel dari satu tiang ke tiang lain. Hanya saja, tiang-tiang listrik ini terendam oleh air laut. 

Kata Ikhwan, dulunya merupakan jalan penghubung dusun. Setelah abrasi dan air laut yang makin tinggi menggenangi, membuat masyarakat di beberapa dusun di Bedono memilih pergi dan meninggalkan sebuah kampung mati.

“Nah itu Mamak, habis pulang dari pasar,” Ikhwan menunjuk sampan kecil yang dinaiki oleh sosok wanita tua yang mana adalah Mak Jah.

10 Tahun Hidup di Tengah Lautan, Seperti Apa Rasanya?

Dari kejauhan saya sudah bisa melihat sebuah rumah di tengah-tengah lautan bersama dengan rumah-rumah kosong lainnya dan beberapa pohon mangrove yang kokoh berdiri. Tampak ada beberapa perahu yang tertambat di rumah tersebut. Ya, rumah tersebut adalah rumah Mak Jah. Ketika orang lain memarkirkan motor atau mobil di halaman rumahnya, Mak Jah menjadikan perahu sebagai transportasi utamanya.

Mak Jah menjalani aktivitas

“Mak Jah baru pulang dari pasar, wis monggo-monggo, sarapan sik yo nang,” Ucap Mak Jah sembari lincah ke sana kemari menyiapkan makan untuk kami.

Sembari itu pula, saya mengobrol bersama Ikhwan, tentang bagaimana awal mulanya abrasi terjadi? Berapa luas daratan yang hilang akibatnya? Sudah berapa pohon mangrove yang ditanam? Pertanyaan tersebut tiba-tiba meluncur tanpa henti dari mulut saya demi menjawab rasa penasaran yang sedari tadi sudah menyelimuti isi kepala.

Baca juga: Penanaman Mangrove, Ide Program CSR Lingkungan yang Berdampak

Di rumah ini, Mak Jah tinggal bersama suaminya Rohani, dan ketiga anaknya. Sementara Ikhwan yang sudah berkeluarga tinggal di tempat yang terpisah. Karena abrasi dan air laut yang menggenang, membuat konstruksi rumah Mak Jah sedikit berbeda.

Rumah Mak Jah di Desa Bedono Demak

Seingat Ikhwan sudah kurang lebih tiga kali rumah ini ditinggikan. Kondisi tersebut tampak dari bagian atap yang tak terlalu tinggi dari kepala dan lantai dari papan yang di bawahnya menggenang air laut. Bagian belakang rumah Mak Jah yang merupakan dapur kini menjadi pintu masuk.

“Wis sak onone wae yo nang, Mak Jah durung iso masak, iki nembe wae tumbas ning pasar,” Ujar Mak Jah mempersilakan kami semua makan.

Pagi ini Mak Jah memang belum bisa masak. Lantaran, dapur tempatnya untuk memasak masih terendam pasang air laut. Menurutnya, nanti di jam 10-an air laut baru surut membuat dapur kering dan bisa digunakan untuk memasak.

Mak Jah dan keluarganya sudah 10 tahun lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah ini meski terendam air laut. Baginya, aktivitas menanam dan merawat mangrove tidak bisa dirinya tinggalkan. Tentu tak mudah untuk hidup dengan pilihan seperti ini bagi Mak Jah dan keluarganya. Namun terlepas dari pilihan, sepertinya ada hal yang lebih besar bagi Mak Jah dan keluarganya tengah perjuangkan.

Gambaran abrasi di Desa Bedono Demak

Di Dusun Rejosari Senik tempat Mak Jah tinggal, dulunya masih ada banyak keluarga lain yang tinggal di sini. Semenjak abrasi datang dan menggenangi perkampungan, lambat laun masyarakat memilih untuk pindah mencari tempat tinggal baru. Proses pindah mulai dilakukan dari tahun 2006. Hingga pada akhirnya tahun 2010 semua masyarakat Dusun Senik pindah dan menyisakan Mak Jah seorang diri.

“Dukuh Seniknya ketok e 200 lebih keluarga yang tinggal, pokoknya hampir 250, nah sekarang tinggal aku tok iki, lha kalau tak tinggal pergi terus enggak ada yang ngerawat,” Ungkap Mak Jah

Menananam, Menanam, dan Terus Menanam!

Menjelang pukul 10.00 Mak Jah bersiap-siap untuk mempersiapkan bibit mangrove. Hari ini dia tidak ada agenda menanam mangrove, melainkan mempersiapkan bibitnya yang mungkin sewaktu-waktu perlu untuk dirinya tanam.

Mak Jah tengah menyiapkan bibit mangrove

“Yo wis kuwi, Mak Jah sehari-harine nyambut gawe neng omah lah, sambil ngurusin ini golek bibitan, nanti habis nyari bibit istirahat, besok ngisi tanah di polybag, terus habis itu ngerapihin yang udah jadi, wis sehari-harine gantian,” Ujar perempuan berumur 53 tahun ini.

Puluhan tahun Mak Jah berjuang untuk menghijaukan kembali lingkungan sekitarnya dengan menanam mangrove. Pohon-pohon mangrove di sekeliling rumahnya pun merupakan hasil dirinya menanam puluhan tahun silam. Mak Jah mempersiapkan semuanya mulai dari bibit yang akan ditanam, proses penanaman, bahkan hingga menanami kembali pohon mangrove yang mati karena tersapu ombak.

Baca juga: 10+ Manfaat Hutan Mangrove untuk Lingkungan dan Masyarakat

“Aslinya bibitnya itu dikirim, terus saya tanam, jadi gedhe-gedhe dan berbuah, terus tak ambili sendiri, sampai sekarang seperti itu,” Sambung Mak Jah.

Sampai saat ini sudah ada puluhan atau bahkan ratusan ribu pohon mangrove yang Mak Jah dan keluarganya tanam di Bedono Demak. Ia senang, sebab mangrove yang ditanam bisa membawa banyak manfaat. Seperti kawanan burung-burung yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat tinggalnya.

Kawasan hutan mangrove tempat Mak Jah menanam

Bagi Mak Jah, ini bukan tentang sampai kapan dia akan menanam. Namun, ini tentang mempertahankan tanah tempat tinggalnya agar tak hilang termakan air laut. Mak Jah menanam dan terus menanam, menolak bedono tenggelam seutuhnya tergenang air laut. 

LindungiHutan Menanam Lebih Dari 800 RIBU Pohon di 50 Lokasi Penanaman yang Tersebar di Indonesia Bersama 500+ Perusahaan dan Brand yang Terlibat!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Rawat Bumi LindungiHutan