Connect with us

Emisi Karbon

Perilaku Milenial dan Gen-Z yang Tanpa Sadar Memperparah Krisis Iklim di Indonesia

Published

on

Krisis iklim di Indonesia

Berita tentang krisis iklim di Indonesia sedang marak dibicarakan. Cuaca di Indonesia yang lebih panas daripada tahun-tahun sebelumnya, memperlihatkan bahwa krisis iklim sudah di depan mata.

Saat ini lebih dari setengah jumlah masyarakat di Indonesia adalah generasi Z, karenanya Gen-Z disongsong untuk meraih Indonesia emas pada tahun 2045.

Namun, coba pikirkan bagaimana kita bisa sampai pada masa keemasan tersebut kalau saat ini saja kita sudah dikepung dengan suhu ekstrem, krisis pangan, kualitas udara buruk, dan gunungan sampah.

Kesadaran Saja Tidak Cukup, Harus Ada Aksi Nyata

Berdasarkan hasil riset Angga Aristya Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, menunjukan tingginya angka kesadaran kognitif (pengetahuan tentang perubahan iklim) anak muda di Indonesia terhadap perubahan iklim. Awalnya, hal tersebut memberikan sedikit harapan untuk bertahan sampai pada masa keemasan itu tiba.

Kenyataannya, itu hanya sampai pada “sekadar tahu” karena hasil akhir penelitiannya menunjukan bahwa ternyata, kesadaran konatif (kesadaran yang membawa pada aksi nyata) menunjukan hasil yang berbanding terbalik. Pemuda di Indonesia hanya tahu tetapi enggan untuk bertindak.

Perilaku Milenial dan Gen-Z yang Turut Memperparah Krisis Iklim di Indonesia

Berikut ini kontribusi Gen-Z yang akan menghambat Indonesia menggapai masa keemasan yang sekaligus memperparah krisis iklim:

1. Gaya Hidup

Tercatat per tahun 2022 jumlah jejak emisi karbon di Indonesia sebesar 2,18 tonCO2e dari satu individu saja. Sederhannya, 1 tonCO2e itu setara dengan pengisian daya 121.643 handphone jika, 2,18 tonCO2e berarti sekitar dua kali lipatnya. Banyaknya jejak karbon tersebut berasal dari penggunaan kendaraan pribadi, listrik, air, dan makanan. Realita yang kita hadapi saat ini, banyak anak muda di Indonesia semakin jarang menggunakan trasportasi umum apalagi berjalan kaki.

Kebanyakan mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pibadi (penghasil emisi yang tinggi) saat melakukan aktivitas sehari-hari. Gaya hidup semacam ini yang dapat mempertebal dampak jejak karbon dengan efek nyata yang sudah terasa akhir-akhir ini yaitu cuaca yang semakin panas.

2. Hedonisme

Hedonisme adalah pemahaman bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan hidup. Contoh perilaku hedonisme adalah berfoya-foya, membelanjakan barang yang tidak sesuai kebutuhan, berpesta-pora, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kenikmatan sesaat. Berbagai sifat konsumtif tersebut yang akan berdampak pada lingkungan. Pembelian barang yang tidak berguna hanya akan berakhir sebagai sampah.

3. Menyisakan Makanan

Tahun 2022 total sampah di Indonesia mencapai 19,14 juta ton, setengahnya berasal dari jenis sampah sisa makanan.

Komposisis sampah
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Perilaku ini sering kali tidak disadari oleh anak muda karena ketidaktahuan akan dampak yang terjadi setelahnya. Sisa makanan bukan hanya berakhir di tempat pembuangan sampah tetapi menjadi salah satu pemicu pemanasan global.

Anak Muda Berakal Harus “Take Action”

“Manusia adalah bagian dari alam bukan manusia menguasai alam”. Zaman yang semakin maju menggerus paham bahwa merawat lingkungan sama dengan merawat manusia itu sendiri, kesadaran inilah yang seharusnya dipupuk dan dirawat.

Sebagai generasi muda yang berakal, pengetahuan tetang pentingnya merawat lingkungan harusnya sudah dapat ditangkap dengan baik, karena minimnya pengetahuan akan membuat dampak kerusakan lingkungan semakin menganga lebar.

Salah satu ajaran moral dalam perkembangan etika lingkungan adalah Deep Ecology yang menjelaskan bahwa manusia bukan bagian yang terpisah dari alam, manusia ada di dalam alam itu sendiri.

Sederhananya manusia menghirup udara kotor ketika hutan dibabat habis atau manusia akan punah jika sumber makanan menipis. Padahal, jika ditarik akar masalahnya semua masalah-masalah tersebut berasal dari diri manusia itu sendiri.

Artikel ini merupakan kolaborasi antara LindungiHutan dan LPM Scientiarum. Scientiarum (SA), lembaga pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, berdiri pada 1998. SA merupakan salah satu penerbitan yang dikelola sepenuhnya oleh mahasiswa.  Sementara LindungiHutan merupakan lembaga crowdplanting yang memiliki misi mengajak partisipasi publik memberdayakan petani bibit dan menyelamatkan Indonesia dari krisis kerusakan biosfer dan deforestasi dengan cara menanam pohon

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Survey LindungiHutan