Bisnis Lestari
Greenwashing, Strategi Green Marketing yang Harus Dihindari
Adanya kesadaran akan gaya hidup ramah lingkungan membuat intensi pembelian produk yang berkelanjutan makin tinggi. Itu juga mendorong semakin banyaknya para pelaku bisnis yang menggunakan model pemasaran hijau.
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang menonjolkan citra “hijau” dalam produk mereka, walau kenyataannya tidak demikian. Praktik kebohongan terstruktur ini disebut dengan greenwashing.
Lalu, apa itu greenwashing? Mengapa perusahaan melakukannya?, dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan? Berikut penjelasannya!
Daftar Isi
Apa yang Dimaksud dengan Greenwashing?
Menurut Chen, greenwashing adalah aktivitas pemasaran yang dilakukan perusahaan dengan mengatasnamakan produk ramah lingkungan. Tujuannya untuk membentuk persepsi konsumen bahwa perusahaan telah mempromosikan produk yang sustainable, padahal mereka tidak melakukannya (Budi Setiawan, 2022).
Yups, dengan kata lain greenwashing adalah strategi marketing yang menipu di mana perusahaan atau organisasi menyesatkan konsumen dengan klaim hijau dari produk yang mereka hasilkan.
TerraChoice merumuskan enam kategori suatu klaim hijau dikatakan sebagai greenwashing, yaitu:
- Melakukan perdagangan yang tersembunyi,
- Melakukan klaim “hijau” yang tidak berdasar,
- Melakukan klaim “hijau” yang sebagian benar,
- Melakukan klaim “hijau” yang tidak relevan,
- Menentukan yang lebih buruk dari dua yang buruk,
- Melakukan klaim palsu (Law, 2022).
Greenwashing adalah strategi pemasaran di mana perusahaan mengklaim produknya ramah lingkungan untuk membentuk persepsi bahwa mereka mendukung keberlanjutan, padahal kenyataannya tidak demikian.
Beberapa alasan mengapa sebuah perusahaan melakukan greenwashing, di antaranya adalah mengikuti tren green marketing yang sedang banyak diadopsi agar tidak ketinggalan dan bahkan menjadikan perusahaan lebih terkenal, memperluas segmen pasar, meningkat kurva penjualan. Selain itu, perusahaan mendapat citra yang ramah lingkungan.
Karena selain menyesatkan konsumen dengan klaimnya, greenwashing juga dapat menghambat gerakan konsumsi berkelanjutan, dan secara otomatis menghambat penanganan dampak lingkungan yang sebenarnya.
Baca juga: Apa Itu Green Brand dan Bagaimana Implementasinya?
Istilah greenwashing sendiri sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, dan diperkenalkan oleh aktivis lingkungan Jay Westerveld. Kala itu, dirinya menulis sebuah esai yang mengkritik kampanye “save the towel” yang dilakukan oleh banyak hotel.
Ironinya, dibanding dengan melakukan upaya nyata terhadap lingkungan, ditemukan banyak limbah di seluruh bagian hotel-hotel tersebut.
Dalam esai itu juga disebutkan bahwa kampanye “save the towel” hanyalah dalih agar hotel dapat memangkas biaya operasional dan ingin mendapat simpatik publik dengan citra ramah lingkungan.
Kini, setelah bertahun-tahun istilah greenwashing diperkenalkan, praktiknya semakin banyak dilakukan oleh perusahaan. Itu karena strategi iklan ini memang terbukti dapat menambah keuntungan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Nielsen, 66% konsumen global tetap memilih produk dengan klaim ramah lingkungan meskipun mereka harus merogoh kocek yang lebih tinggi (Lavenia, 2021).
Sementara itu, terdapat beberapa alasan mengapa sebuah perusahaan melakukan greenwashing, yakni:
- Mengikuti tren green marketing yang sedang banyak diadopsi agar tidak ketinggalan dan bahkan menjadikan perusahaan lebih terkenal.
- Memperluas segmen pasar.
- Meningkat kurva penjualan.
- Mendapat kredibilitas sebagai perusahaan yang tidak merusak lingkungan (Budi Setiawan, 2022).
Contoh Kasus Greenwashing
Terdapat beberapa contoh kasus greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Contohnya klaim plastik ramah lingkungan yang dibuat oleh Coca Cola dan Unilever.
Melansir dari theguardian.com, berdasarkan laporan dari The Changing Markets Foundation, perusahaan yang mengklaim bahwa mereka menggunakan Ocean Bound Plastics (OBP) atau recyclable dalam kemasan botol produk mereka untuk mengatasi krisis lingkungan, adalah termasuk kategori greenwashing yang umum.
Kasus terbaru adalah isu greenwashing yang menjerat perusahaan minyak dan gas Shell. Sejumlah aktivis Amerika mendesak Securities and Exchange Commission (SEC) untuk menyelidiki Shell karena telah menyesatkan investor dengan klaim 12% dari belanja modal mereka disalurkan untuk energi terbarukan.
Padahal, menurut aktivis yang melayangkan keluhan tersebut, hanya 1,5% dari belanja modal Shell yang disalurkan untuk mengembangkan energi terbarukan (theguardian.com, 2023).
Selanjutnya, penelusuran yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menemukan bahwa sepanjang tahun 2017-2021, ditemukan 9 kasus greenwashing yang terjadi di Indonesia, dan dipublikasikan di media.
Di antaranya adalah greenwashing yang dilakukan oleh Nestle atas klaim produk kemasan airnya dengan “pure life natural spring”. Nestle mendapat kritikan tajam karena membuat komunikasi pemasaran yang jauh dari praktiknya menjaga kelestarian lingkungan.
Klaim mereka menggunakan 30% sedikit plastik dalam produksi kemasan airnya tidak dibuktikan dengan penjelasan tentang lebih sedikit dari apa.
Selain itu, ada Adaro Energy dengan kampanye “Green Initiatives” yang mengklaim bahwa mereka melakukan aktivitas usaha yang lebih untuk usaha hijau dan mendukung perubahan iklim.
Namun lagi-lagi, kampanye tersebut dipertanyakan dan terkesan sebagai upaya greenwashing. Karena pada saat yang sama, dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa pertambangan batubara masih merupakan DNA grup, dan menargetkan volume produksi batubara sampai 54 juta ton. Perusahaan juga memiliki cadangan batubara sebesar 1.1 miliar ton (Law, 2022).
Dampak Greenwashing bagi Lingkungan
Seiring dengan konsumsi berkelanjutan, produksi berkelanjutan termasuk ke dalam bentuk capaian dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs). Karenanya, suatu perusahaan memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan untuk setiap produk yang mereka keluarkan.
Namun, alih-alih meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dalam aktivitas produksi mereka, banyak perusahaan mengambil jalan pintas dengan melakukan greenwashing. Hal tersebut tentunya dapat berpengaruh negatif terhadap lingkungan.
Itu karena praktik greenwashing akan melahirkan green consumer confusion, yaitu ketika konsumen kebingungan dalam membuat keputusan pembelian produk ramah lingkungan. Kebingungan tersebut dipantik oleh klaim perusahaan terkait informasi dari manfaat produk yang ternyata tidak sepenuhnya benar, atau bahkan bohong.
Keputusan yang salah karena informasi menyesatkan tersebut akan menghambat gerakan konsumsi berkelanjutan, dan secara otomatis menghambat penanganan dampak lingkungan yang sebenarnya.
Di Indonesia sendiri, belum ada kebijakan dan regulasi yang secara khusus dan tegas untuk melindungi hak konsumen dari praktik greenwashing.
Namun demikian, kita sebagai konsumen bisa dapat meminimalisir praktik ini dengan secara aktif mengikuti informasi terkait greenwashing guna meningkatkan kepekaan dan kekritisan kita.
Baca juga: Apa Itu Product Bundling? Simak Cerita Kolaborasi Dusdukduk dengan LindungiHutan
LindungiHutan Menanam Lebih dari 800 RIBU Pohon di 50 Lokasi Penanaman Bersama 500+ Brand dan Perusahaan
Penulis: Maswanajih