Connect with us

Emisi Karbon

Mengenal Apa Itu FOLU Net Sink 2030

Published

on

Pengertian FOLU Net Sink 2030

Artikel di-review oleh Alma Cantika Aristia Tim RnD dan Product LindungiHutan

Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk turut andil dalam upaya penekanan emisi karbon. Indonesia masih terus berusaha mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Ambisi tersebut lantas diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.

Pengurangan Emisi GRK Nasional didukung utamanya dan dengan pendekatan “Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030. Perlu diketahui bahwa, sektor FOLU dan energi merupakan penyumbang terbesar penurunan emisi gas di Indonesia dengan total kontribusi lebih dari 90%.

Baca juga: 5 Hal tentang Kalkulator Jejak Karbon Imbangi, Hitung Emisi Karbon Proses Bisnis Anda

Apa Itu FOLU Net Sink 2030?

FOLU Net Sink merupakan kondisi di mana sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak emisi karbon ketimbang yang dikeluarkan.

FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan kondisi di mana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.

Adapun, proyeksi target FOLU Net Sink 2030 adalah angka Net Sink 140 juta ton CO2eq atau emisi negatif sebesar 140 juta ton CO2eq.

Menteri Siti Nurbaya dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menjelaskan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lain (AFOLU) juga sektor energi akan sangat menentukan arah yang akan dituju pada tahun 2050.

Melalui scenario LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU sudah mulai net sink.

Ruang Lingkup FOLU Net Sink 2030

Mengutip dari Indonesia’s FoLU Net Sink 2030 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berikut ini 15 ruang lingkup FoLU Net Sink 2030:

  • Pengurangan laju deforestasi lahan mineral,
  • Pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove,
  • Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral,
  • Pengurangan degradasi hutan lahan gambut dan mangrove,
  • Pembangunan hutan tanaman,
  • Pengelolaan hutan lestari,
  • Rehabilitasi dengan ritasi,
  • Rehabilitasi non rotasi,
  • Restorasi gambut dan perbaikan tata air gambut,
  •  Rehabilitasi mangrove dan aforestasi pada kawasan bekas tambang,
  • Konservasi keanekaragaman hayati,
  • Perhutanan sosial,
  • Pengembangan dan pemantapan hutan,
  • Introduksi replikasi ekosistem, Ruang Terbuka Hijau, dan ekoriparian,
  • Pengawasan dan law enforcement dalam mendukung perlindungan dan pengamanan kawasan hutan

Implementasi Aksi Mitigasi Sektor FOLU Menuju Net Sink 2030

Lantas, apa saja yang akan dilakukan dalam rangka melaksanakan aksi mitigasi sektor FoLU demi tercapainya net sink 2030?

1. Perlindungan Hutan dari Deforestasi dan Degradasi

Sederhananya, definisi deforestasi adalah perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, dari suatu wilayah yang sebelumnya memiliki tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi).

Umumnya, ancaman deforestasi terbagi menjadi deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Deforestasi terencana artinya deforestasi yang terjadi di areal izin konsesi dan izin konversi lahan pada kawasan hutan.

Sementara, deforestasi tidak terencana adalah perubahan tutupan alam menjadi bukan hutan alam yang disebabkan baik oleh kegiatan illegal (perambahan hutan) atau bencana alam, seperti kebakaran.

Berdasarkan scenario LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement), luas hutan alam yang dapat dikonversi hingga tahun 2050 dibatasi hingga 6,8 juta hektare. Maka, untuk mempertahankan target menuju Net Zero Emission, konversi hutan alam harus ditekan.

Baca juga: Carbon Offset Platform LindungiHutan, Hitung Emisinya dengan Imbangi, Tanam Pohonnya dengan Kami

2.  Perlindungan Degradasi Hutan di Area Konsesi

Perlindungan hutan alam primer di dalam konsesi meliputi perlindungan dari degradasi terencana dan tidak terencana. Perlindungan degradasi terencana bertujuan untuk merevisi rencana pengelolaan hutan dalam rangka mempertahankan hutan alam primer hanya untuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Sementara perlindungan terhadap degradasi yang tidak direncanakan berfokus pada terganggunya pemeliharaan hutan alam primer di dalam area konsesi.

Untuk pencapaian target net sink 2030, batas atas degradasi hutan primer adalah 2,28 juta hektare. Skema insentif diperlukan bagi konsesi untuk mengubah rencana bisnis dari produksi hutan kayu menjadi HHBK atau jasa lingkungan di kawasan hutan primer.

3. Pengelolaan Lahan Gambut

Pengelolaan lahan gambut yang meliputi pengelolaan dan pemulihan muka air merupakan aksi mitigasi utama yang menentukan keberhasilan sektor hutan dan lahan menuju net sink.

Melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 15 Tahun 2017, pemilik izin PBPH dan HGU yang terindikasi berada pada ekosistem gambut harus menjaga tinggi muka air lahan gambut di areanya tidak lebih dari 40 cm. Hal ini diupayakan dengan perbaikan tata air pada lahan gambut.

Luas wilayah yang diharapkan menerapkan tata air yang baik hingga tahun 2030 untuk mencapai target net sink adalah 0,95 juta hekatare.

Selain itu, kegiatan restorasi juga perlu digalakkan meliputi upaya pembasahan kembali lahan gambut baik melalui sekat/kegiatan revegetasi/penanaman komoditas yang adaptif dengan sifat alami lahan gambut (sistem paludikultur).

Guna mencapai target sink net, luas areal restorasi gambut hingga 2030 harus mencapai 2,72 juta hektare.

4. Konservasi Keanekaragaman Hayati

Saat ini terdapat 38 juta hektare kawasan Nilai Konservasi Tinggi atau NKT sebesar1,51 juta hektare berada di kawasan berisiko tinggi dan harus dilindungi dengan kegiatan konservasi. Kasus kematian hewan lebih banyak ditemukan di luar kawasan konservasi, sehingga perlindungan NKT di luar kawasan konservasi sangat penting untuk memastikan perlindungan satwa.

5. Penegakkan Hukum

Menyusul upaya penetapan kebijakan dan operasi yang sesuai kebutuhan, penegakan hukum yang tertib memiliki implementasi yang berkesinambungan dan konsisten. Sejak tahun 2016 penegakan hukum makin gencar diterapkan terutama pada kasus kebakaran hutan, perambahan hutan, dan penebangan liar.

Baca juga: Panduan Mudah Pelaksanaan CSR Lingkungan Perusahaan Anda, Berdampak dan Berkelanjutan!

LindungiHutan Menanam Lebih dari 800 Ribu Pohon di 50 Lokasi Tersebar di Indonesia

Aksi penanaman pohon kami berdampak baik terhadap 400 Ton CO2Eq yang terserap serta mendukung pemberdayaan kelompok masyarakat sekitar penanaman.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Rawat Bumi LindungiHutan